Film ZIarah besutan sutradara muda BW Purba Negara asal Yogyakarta menjadi salah satu film nominasi. Film ini terpilih sebagai Penulis Skenario Asli Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2016. Malam puncak FFI tahun ini akan diadakan pada tanggal 6 November 2016 di Gedung Teater Jakarta, kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Film Ziarah sendiri diproduksi secara independen bersama tim yang semuanya merupakan filmmaker asal Yogyakarta. Sebelumnya, BW Purba Negara lebih banyak membuat film pendek, dan sudah banyak karya-karyanya yang berhasil memenangkan penghargaan baik dalam skala nasional maupun internasional. Sebelumnya film Ziarah juga sempat mendapatkan nominasi Piala Dewantara pada ajang Apresiasi Film Indonesia 2016 beberapa saat yang lalu.
Film Ziarah bercerita tentang perjalanan Mbah Sri dalam mencari makam suaminya yang hilang semasa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949. Keinginan untuk dimakamkan bersanding dengan makam suaminya merupakan alasan yang mendasari perjalanan ini. Tokoh Mbah Sri dalam film ini diperankan sangat apik oleh Mbah Ponco Sutiyem, seorang warga kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Kendati usianya sudah menginjak 95 tahun, Mbah Ponco Sutiyem membuktikan bahwa usia senja bukanlah sebuah hambatan dalam berakting. Usia senja pun tetap dapat berkarya secara luarbiasa. Barangkali mbah Ponco Sutiyem ini adalah pemain film tertua yang bermain sebagai tokoh utama dalam film Indonesia.
Tentang Kisah Cinta
Ziarah adalah kisah tentang cinta, dengan sudut pandang yang tidak biasa. Cerita berawal ketika tanpa sengaja mbah Sri bertemu dengan seorang tentara veteran yang mengenal Prawiro, suaminya. Tentara Veteran itu mengetahui di mana Prawiro tertembak oleh Belanda di tahun 1949. Berbekal informasi yang tidak utuh ini, mbah Sri menempuh perjalanan panjang, berusaha mencari makam suaminya. Selanjutnya alur film ini lebih banyak bercerita tentang bagaimana mbah Sri menyusuri lembah, gunung, perbukitan, dan berbagai bentang alam di pelosok-pelosok desa.
Dalam perjalanan panjangnya, ia bertemu dengan orang-orang yang yang tengah berdialog tentang tanahnya, orang-orang yang memperjuangkan tanahnya, dan orang-orang yang tersingkir dari tanahnya. Bagi mbah Sri, perjalanannya mencari makam sang suami ini tidak sekadar menjadi perjalanan menyusuri sejarah cintanya, tapi juga menyusuri luka-luka sejarah bangsa ini. Perjalanan ini berujung pada sebuah temuan fakta yang menyakitkan. Baginya rasa sakit itu berkah, karena dari situ ia bisa belajar tentang hakikat pasrah. Dengan sikap pasrah itulah, ia berhasil mengais satu bentuk kemenangan, bahkan ketika ia terpuruk dalam kekalahan. Suatu sikap yang membuatnya berhasil menemukan makna cinta dengan cara yang tak pernah ia duga.
“Film Ziarah saya tulis dengan sesuka hati dan merdeka, bebas dari logika industri mainstream, bebas dari kepentingan modal. Maka hasilnya, film Ziarah sangat berbeda dengan kebanyakan film bioskop Indonesia. Dengan dipilihnya Ziarah menjadi nominator FFI, saya kira ini bukti bahwa FFI benar-benar mengakomodir keberagaman film Indonesia. Semoga hal ini bisa jadi pemicu untuk munculnya berbagai karya-karya lain dengan cara-cara tutur yang lebih beragam lagi.” tutur BW Purba Negara selaku penulis, produser, sekaligus sutradara dari Film Ziarah.
Baca juga : Film Ziarah, Film Terbaik di Salamindanaw Asian Film Festival 2016