Aspek Rasio Dalam Produksi Film

contoh aspek rasio standar 43

Menentukan Aspek Rasio dalam produksi film/video sangat diperlukan guna memastikan film yang akan dibuat sesuai dengan media penayangannya.

Ketepatan memilih dapat menghindari terjadinya distorsi visual, mengingat media output sangat beragam jenisnya seperti bioskop, televisi, internet, gadged dan lain sebagainya.

Aspek Rasio  (Aspect Ratio) merupakan perbandingan proporsi antara lebar (width) dan tinggi (height) pada bidang gambar video/film.

Dalam aspek rasio tidak memiliki satuan ukuran (cm,inch, px dll), namun dinyatakan dengan perbandingan yang menggunakan dua angka yang dipisahkan dengan titik dua, misalnya 4 : 3 atau 16 : 9.

aspect-ratio-wide-x-hight
aspect ratio wide : hight

Ada tiga cara yang biasa dipakai dalam penulisan aspek rasio, pertama dalam bentuk sederhana panjang : lebar (W:H), cara kedua dengan menulis angka desimal:1 dan ketiga hanya ditulis angka desimalnya saja.

Contoh untuk penulisan : 16:9 atau 1,77:1 atau 1,77.

Secara umum, para pembuat film menentukan aspek rasio berdasar pada apa yang sudah ada pada kamera.

Adapun kamera yang kebanyakan beredar di Indonesia menggunakan 1.33:1 atau yang lebihh dikenal 4:3 dan menggunakan  1.77:1 (16:9) atau yang sering disebud widescreen.

Aspek rasio 4:3 biasa dipakai pada televisi CRT dan monitor komputer tradisional. Sedangkan untuk 16:9 digunakan untuk  televisi jenis HDTV dan monitor komputer layar LCD (Liquid Crystal Display) widescreen.

Aspek rasio 4:3 akan menampilkan gambar dengan baik pada media yang mampu memproyeksikan dengan 4:3 juga, misal televisi CRT.

Apabila televisi CRT tersebut menayangkkan video format 16:9 maka akan menghasilkan distorsi visual dimana obyek dipaksa menyempit dan terlihat lebih ramping.

contoh gambar video widescreen 16 banding 9
contoh gambar video widescreen 16 : 9

Distorsi Pada Layar

Untuk menghindari distorsi gambar pada televisi CRT, biasanya stasiun televisi yang akan menayangkan film dengan aspek rasio 16:9 akan melakukan croping gambar sisi kanan dan kiri agar terlihat full sreen di monitor, hal ini sering dilakukan saat penayangan film-film Indonesia lawas.

Cara lain agar video format 16:9 dapat tayang di televisi CRT dengan baik adalah dengan menampilkan keseluruhan video meski dengan resiko akan terdapat bar warna hitam diatas dan bawah gambar.

Penggunaan media penayangan video 16:9 yang terbaik adalah pada televisi widescreen atau HDTV.

Memaksakan untuk menayangkan video 4:3  pada televisi LCD widescreen akan menghasilkan visual yang distorsi juga, biasanya obyek yang tampak akan terlihat lebih gemuk karena dipaksa melebar untuk memenuhi ruang layar.

contoh <yoastmark class=

Selain dua yang telah disebutkan diatas, ada juga lainnya yang bisa dan sering kita jumpai, yaitu ketika di bioskop.

Aspek rasio yang ada di bioskop memiliki bidang yang lebih lebar dari televisi

Perkembangan teknologi digital saat ini semakin mempermudah para filmmaker untuk dapat membuat dan memutar karyanya di bioskop.

Jika sebelumnya memutar film harus menggunakan proyektor seluloid, saat ini teknologi untuk memutar film sudah banyak yang menggunakan Digital Cinema projectors.

Proyektor inilah yang akan memproyeksikan gambar dari data video dalam format DCP (Digital Cinema Packet).

Ada tiga jenis aspek rasio yang dapat diproyeksikan oleh Digital Cinema projectors yakni 1.85:1 (Academy Flat),  2.39:1 (panavision/cinemascope) dan 1.90:1 (Full Container). 

Aspect Ratio bioskop 1.851 (Acadmey Flat)
Aspect Ratio bioskop 1.851 (Acadmey Flat)

Aspek rasio screen yang digunakan di bioskop Platinum Cineplex Solo adalah 2.39:1 (panavision/cinemascope). Apabila memutar film dalam format 16:9 secara otomatis akan muncul bar hitam dikedua sisi gambar.

Untuk menghilangkan bar hitam di kedua sisi, ada juga yang melakukan croping di sisi atas dan bawah sehingga gambar bisa full wide.

Jenis Aspek Rasio

Ada banyak aspek rasio film/video yang pernah dibuat sejak pertama kali film muncul, Berikut data berbagai jenis  lainnya diantaranya :

1.19 : 1 (Movietone ratio)

Aspek rasio ini digunakan secara singkat selama masa peralihan, yaitu saat industri film telah digabung dengan media suara (1926-1932).

Rasio ini dihasilkan dengan melapiskan sebuah soundtrack optik lebih 1,33 dalam pencetakannya, sehingga gambar yang dihasilkan hampir persegi.

1.25:1 (5:4)

Ini sangat populer ketika monitor komputer diproduksi secara masal dengan menggunakan LCD panel 17” dan 19” atau monitor CRT 19” dan 21” yang menggunakan resolusi 12801024 (SXGA).

Secara historis aspek rasio ini mejadi cikal bakal penggunaan aspek rasio 4:3 untuk digunakan sebagai media penyiaran.

1.33:1 (4:3, 12:9) Academy Ratio

Aspek rasio ini merupakan ukuran standar yang masih sering digunakan untuk Video/Televisi di Indonesia.

Format ini masih banyak ditemukan pada kamera video rumahan seperti pada kamera handycam dan sejenisnya.

1.375:1

35 mm full screen, hampir semua film antara tahun 1932 dan 1953 menggunakan aspek rasio ini. Secara resmi diadopsi sebagai Academy ratio pada 1932 oleh AMPAS.

Format ini jarang digunakan dalam konteks saat ini.

1.43:1 (IMAX)

Adalah aspect ratio film yang diputar di layar IMAX ataupun difilmkan dengan kamera IMAX. Gambar yang dihasilkan lebih tajam dan bagus karena saat produksi menggunakan film 70 mm.

150:1 (3:2, 15:10)

Rasio dari film 35 mm digunakan untuk fotografi. Juga aspek rasio asli VistaVision.

1.55:1 (14:9)

Aspek rasio layar lebar ini kadang-kadang digunakan dalam iklan atau pengambilan gambar yang lainnya.

Format ini berada dipertengahan antara 4:3 (12:9) dan 16:9.

Bila dikonversi ke frame 16:9, ada pillarboxing sedikit, sementara jika dikonversi ke 4:3 akan menciptakan letterboxing.

1.60:1 (8:5, 16:10)

Aspek rasio ini sering digunakan pada komputer Monitor Widescreen (misalnya resolusi 1920 × 1200).

1.66:1 (5:3, 15:9) European Widescreen

Aspek rasio ini awalnya diciptakan oleh Paramount Pictures, yang sekarang telah menjadi ukuran standar di beberapa negara Eropa. Aspek rasio ini terkadang disebut juga 1.67:1.

Di akhir 1980-an hingga awal 2000-an, CAPS Program Walt Disney Feature Animation juga menggunakan rasio ini (pertengahan antara rasio 1.85:1 atau digunakan di bioskop dan rasio 1.33:1 digunakan untuk video rumahan), Layar atas Nintendo 3DS juga menggunakan aspect ratio 1.66:1.

1.75:1 (7:4)

Awalnya 35 mm digunakan oleh MGM dan Warner Bros antara tahun 1953 dan 1955, dan sejak ditinggalkan, Disney kemudian melakukan cropping beberapa film era 50-an nya dengan rasio ini untuk kemudian diedarkan dalam bentuk DVD, termasuk film The Jungle Book.

1.77:1 (16:9 | 42 : 32  |42:32) Widescreen TV

Aspek rasio ini merupakan ukuran standar video layar lebar yang digunakan dalam High Definition Television (HDTV) yang saat ini telah dijadikan sebagai standard Televisi jaman sekarang. Dikenal juga sebagai 16:9.

1.85:1 Academy Flat, VistaVision

Aspek rasio ini telah menjadi standar layar layar lebar unruk film bioskop Amerika dan Inggris. Diperkenalkan oleh Universal Pictures pada Mei, 1953.

1.896:1

DCI / SMPTE digital cinema basic resolution container aspect ratio

2.00:1 (Super Panavision 70, Technirama)

Merupakan ukuran superscope asli  yang digunakan sebagai rasio flat di beberapa studio Amerika pada 1950-an, ditinggalkan pada tahun 1960, tetapi baru-baru ini dipopulerkan lagi oleh sistem kamera Red One.

Pada tahun 2001 Studio Ghibli menggunakan framing ini untuk film animasi nya Spirited Away.

210:1 (21:10)

Rencana aspect ratio futuristik untuk televisi dan bioskop.

220:1 (11:5, 22:10)

70 mm standar. Awalnya dikembangkan untuk Todd-AO pada tahun 1950.

Jika dikompresi dalam MPEG-2 rasionya adalah 2.21:1, tapi hampir tidak digunakan.

2.35:1 (Anamorphic Scope)

35 mm Anamorphic sebelum tahun 1970, digunakan oleh CinemaScope dan Panavision. Anamorphic berangsur-angsur berubah menjadi 2,39, tetapi sering disebut sebagai 2,35 pula, karena konvensi lama.

(Perhatikan anamorphic yang mengacu pada kompresi gambar pada film untuk memaksimalkan area sedikit lebih tinggi dari standar 4-PERF Academy aperture) Semua film India Bollywood yang dirilis setelah 1972 disyuting dalam standar ini.

2.37:1 (64:27 = 43:33)

Antara tahun 2009 – 2012 lalu, muncul TV yang memperkenalkan 21:09 cinema display, namun format ini sapai sekarang tidak beitu populer.

2.39:1 (~ 12:5)

Merupakan ukuran Anamorphic (widescreen) dari tahun 1970 dan seterusnya. Seringkali disebut sebagai format Panavision atau scope.

Ditetapkan sebagai aspek rasio 2.40:1 untuk Blu-ray film (resolusi 1920 × 800).

2.55:1 (~ 23:9)

Merupakan aspek rasio Asli CinemaScope sebelum optik suara ditambahkan ke dalam film pada tahun 1954. Diciptakan oleh 20th Century Fox pada tahun 1953.

2.59:1 (~ 13:5)

Cinerama pada ketinggian penuh (tiga kamera menangkap gambar menggunakan film 35 mm kemudian diproyeksikan secara bersamaan ke dalam satu gambar layar lebar yang komposit).

2.66:1 (8:3, 24:9)

Frame output dari Super 16 mm. Secara efektif, gambar yang dari rasio 24:9 ter-convert ke aspek rasio asli 15:09 dari 16 mm super negatif.

2.76:1 (~ 11:4)

Ultra Panavision 70 (65 mm dengan 1,25 × squeeze anamorphic). Digunakan hanya pada beberapa film antara tahun 1962 dan 1966, seperti Battle of the Bulge (1965).

2.93:1

MGM Kamera 65, Digunakan hanya sampai tahun 1962 saat versi awal film Ultra Panavision, terutama Ben-Hur (1959)

400:1

Ini jarang sekali digunakan, Polyvision, tiga projektor 35 mm aspek rasio 1.33:1 diproyeksikan berdampingan.

Pertama kali digunakan pada tahun 1927 di Abel Gances Napoléon.

12.00:1

Circle-Vision 360 ° dikembangkan oleh Walt Disney Company pada tahun 1955 untuk digunakan dalam Disneyland.

Menggunakan sembilan 04:03 proyektor 35mm untuk menampilkan gambar yang benar-benar mengelilingi penonton.

Sumber : https://en.wikipedia.org

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *